27 September 2008

CerpenQ "Warna Kehidupan"


Warna-warni kehidupan membuatku belajar mencari jati diri. Susah senangnya adalah variasi yang sebenarnya telah teratur dengan rapi pada skenario Sang Khalik. Hanya manusia yang gigih dan sabar lah yang nantinya akan meraih kemenangan yang mungkin masih menjadi rahasia Ilahi.


Malam itu, sekitar pukul delapan, telepon rumahku tak henti-hentinya berdering.
“Halo, Assalamu’alaikum!” sapaku.
“Wa’alaikumsalam,” terdengar suara wanita yang ternyata adalah Laila, teman satu kampus.
“Ada apa telepon malem-malem? Tumben?” tanyaku.
Laila mulai bercerita tentang apa yang terjadi di kampus hari itu. Maklum, setelah masa ujian di kampus tidak ada lagi kegiatan. Jadi, aku memutuskan untuk rehat di rumah. “Gini lho Zam, tadi tu waktu aku liat hasil ujian hemato, kamu, aku, Ida, Wahyu, semuanya kena remed. Anehnya lagi, dari 220 orang di angkatan kita, cuma 13 doang yang lolos. Gimana? Aku takut ni!”


Sejenak aku terdiam, bisa juga dibilang agak tertekan. Ujian hematologi yang sudah kupersiapkan dengan sangat matang ternyata berbuah remidi. Dalam hati aku berkata, “Perasaan aku dulu bisa ngerjain, bener-bener udah aku cek jawabannya.” Ada perasaan tidak terima yang berkecamuk dalam hatiku.


“Woi, kok diam aja? Kamu baik-baik aja kan?” sahut Laila.
Waktu itu, aku tidak bisa berkata banyak. Cuma ucapan terima kasih yang keluar. Mungkin Laila akan berpikir kalau aku saat itu sangat kecewa. Tapi memang hal itulah yang kurasakan.
Hari-hari setelah itu, aku merasa sebagai orang yang kehilangan semangat. Tiba-tiba aku teringat perkataan Mas Aji. Beliau pernah bilang, sesuatu yang terjadi pada kita, baik susah atau senang, tentu ada hikmahnya dan sesuatu pasti akan indah pada waktunya. Spirit yang muncul dari kata-kata itu rasanya membuatku kembali agak bersemangat. Aku harus bangkit. “Azam, kamu pasti bisa!” kataku pada diri sendiri.


Berselang dua hari, selepas sholat magrib, ada sms masuk yang isinya adalah penetapan diriku sebagai salah satu pengurus suatu organisasi di kampus. Ini adalah organisasi keempat yang kuikuti di kampus. Belum lagi organisasi yang ku-handle di kompleks perumahan yang ternyata tidak semulus visi dan misinya. Satu per satu anggotaku lepas karena pindah keluar kota. Ditambah lagi dengan program kerja yang belum ditetapkan karena kurangnya personil yang bisa diajak musyawarah. Rasa-rasanya aku ingin berteriak. Kenapa seolah-olah aku bekerja sendirian? Aku benar-benar heran. Aku pernah bertekad untuk membatasi kegiatan, tapi pada akhirnya, kenapa semua ini bisa terjadi? Dalam hati aku bertanya-tanya, “Rahasia apa yang akan Engkau berikan pada hamba-Mu ini?” Belum lagi kegiatan-kegiatan lain yang menuntutku untuk bekerja ekstrakeras. Pikiranku saat itu benar-benar kacau. Kadang, aku ingin seperti Ida yang hanya ikut satu organisasi, itupun tidak terlalu aktif, sehingga dia lebih banyak punya waktu luang daripada aku. Tapi, ini adalah risiko yang harus ditanggung atas jalan yang telah kupilih sendiri. Aku mencoba menghadapi semua ini dengan ikhlas. Aku berharap, mungkin suatu saat akan kutemukan hikmah dan rahasia di balik semua ini.


“Tingtong, assalamu’alaikum” bel rumahku berdering cukup keras.
Ketika kubuka pintu, betapa terkejutnya aku ketika kulihat Fikri, sahabat dekatku sewaktu SD datang dengan muka pucat berkaca-kaca. Langsung saja kupersilakan dia masuk dan aku tanyakan apa yang telah terjadi padanya. Perlahan dia mulai bercerita.
“Zam, rasa-rasanya hidupku ini sudah tidak berarti,” Fikri mengawali pembicaraan.
“Aku gagal, bener-bener gagal membuat orangtuaku seneng. Aku gagal masuk perguruan tinggi tahun ini. Padahal ini kedua kalinya aku nyoba. Kakakku semuanya gak ada yang bener. Yang nomor satu kuliahnya gak rampung, yang nomor dua kerjaannya cuma ngelayap, sedangkan aku gak bisa bantu apa-apa. Kasihan juga ibu, tiap hari jualan gorengan. Bapak yang cuma pensiunan juga udah mulai sakit-sakitan. Rasanya ujian ini terlalu berat, Zam. Kadang aku juga mikir, gimana jadinya aku kalau Bapak Ibu meninggal?” Fikri terus saja bercerita sampai tak sadar air matanya bercucuran.


“Sudahlah, semua ini adalah skenario yang harus kita jalani. Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan. Mungkin kamu ikut kursus aja, Fik. Denger-denger kamu kan pinter dalam hal ketik mengetik.” kataku mencoba memberi kekuatan.
“Makasih banget ya!” jawab Fikri mengakhiri pembicaraan, lalu bergegas pulang.
Detik itu, sejenak kulupakan permasalahan yang menimpaku, tapi sebenarnya apa yang juga terjadi padaku tak semanis kata-kata yang terucap.


Langit yang saat itu tampak cerah membuatku termenung. Apa yang kualami tak separah Fikri. Aku masih punya orangtua dan teman yang selalu mendukungku. Yang lebih penting lagi, aku masih dalam pendampingan Sang Pemilik Kekuasaan. Malam itu benar-benar terasa hening. Tak jarang kuteteskan air mata. Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjalani semuanya dengan ikhlas. Aku yakin, ada hikmah dan rahasia tersembunyi yang dijanjikan Sang Pemilik Kebesaran. Aku harus menjalani semua ini! Ini adalah skenarioku. Ini adalah hidupku. kataku dalam hati.
Dalam perenunganku aku bergumam, “Ketika kumohon pada Allah SWT kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan, Dia memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon pada-Nya kesejahteraan, Dia memberiku akal untuk berfikir. Ketika kumohon keberanian, kudapati kondisi bahaya untuk kuatasi. Dan ketika kumohon pada-Nya kesempatan, Dia memberiku kesempitan untuk kutemukan celahnya. Mungkin aku tak pernah menerima apa yang aku pinta, tapi aku selalu menerima segala apa yang aku butuhkan.”


Aku bertekad, hari esok tidak akan ada lagi Azam yang lemah, Azam yang penakut. Yang ada hanyalah Azam yang kuat dan pantang menyerah menjalani skenario hidup yang penuh warna dan liku, masih berupaya menemukan rahasia yang tetap setia menanti.

Tidak ada komentar: