15 Februari 2009

Hypersensitivity

Respon Imun Berlebihan
Akibat Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah suatu reaksi respon imun yang menyebabkan kerusakan sel dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Antigen yang dapat memprovokasi respon hipersensitif pada seseorang disebut alergen. (Kamus Dorland, 2006). Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologis seseorang, baik seluler maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul pada pajanan pertama. Reaksi hipersensitivitas menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang heterogen di mana hal tersebut ditentukan oleh (1) jenis respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan dan (2) sifat serta lokasi antigen yang menginduksi atau yang menjadi sasaran dari respon imun. Hipersensitivitas terbagi dalam 4 kategori, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi tersebut didasarkan pada mekanisme patologis utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. (Guntur, 2007)

Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I ditandai dengan reaksi alergi yang terjadi segera (15-30 menit) setelah kontak dengan antigen (alergen). Terjadinya reaksi alergi diawali oleh kontak suatu alergen yang diikuti oleh sederetan peristiwa kompleks yang menghasilkan IgE. Respon IgE merupakan respon lokal yang terjadi pada tempat masuknya alergen ke dalam tubuh. Produksi IgE oleh sel B tergantung pada penyajian antigen oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan kerjasama antara sel B dengan sel T helper-2 (Th-2). Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi dalam 3 fase berurutan, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor (memunculkan respon). (Lauralee Sherwood, 2001)
Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan masuknya alergen ke dalam tubuh melalui membran mukosa yang diproses dan dipresentasikan oleh APC pada sel T-helper. Sel Th-2 mensekresi sitokin yang menginduksi proliferasi sel B dan menghasilkan respon IgE spesifik. IgE, melalui reseptor FCεR1, berikatan dan mensensitisasi sel mast. Bila akhirnya alergen bertemu dengan sel mast, alergen akan (1) membuat ikatan silang antar-IgE pada permukaan sel mast, (2) menimbulkan influks ion kalsium ke intraseluler yang mampu memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, seperti histamin dan golongan protease, serta (3) menginduksi pembentukan dan pelepasan mediator dari asam arakhidonat, seperti golongan leukotrien dan prostaglandin. Mediator-mediator inilah yang akan menimbulkan gejala klinis alergi. Sitokin yang juga dilepaskan pada saat degranulasi sel mast akan memperberat respon radang dan IgE yang terjadi. (Ivan M. Roitt, 1985)
Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat melibatkan reaksi pada kulit (urtikaria, ekzem), pada mata (konjungtivitas), nasofaring (rinitis, rinorea), bronkopulmonari (asma), dan saluran pencernakan (gastroenteritis). (Darmono, 2007)

Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada sel atau jaringan tertentu. Pada tipe ini, antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai sel efektor untuk menimbulkan kerusakan sel sasaran. Setelah melekat pada permukaan sel atau jaringan, antibodi akan mengaktifkan komponen komplemen C1. Akibat dari aktivasi ini adalah sebagai berikut :
1) Fragmen-fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan sel polimorfonuklear ke lokasi reaksi dan merangsang sel mast/basofil untuk menghasilkan molekul yang menarik dan mengaktifkan sel efektor lain.
2) Jalur komplemen klasik dan lengkung aktivasi mengakibatkan pengendapan C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran.
3) Jalur komplemen klasik dan jalur litik memproduksi kompleks serangan membran C5b-9 dan menyelipkan kompleks tersebut ke dalam membran sel sasaran. (Wahab, 2002)
Beberapa contoh tentang reaksi tipe II ini ditemukan pada reaksi terhadap eritrosit, di antaranya tranfusi darah yang incompatible, penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir (HDNB), dan anemia hemolitik autoimun. Reaksi terhadap trombosit dapat menimbulkan trombositopenia, sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit diduga mengakibatkan lupus eritematosus sistemik (SLE). (Baratawidjaja, 2006)

Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III ini diperantarai oleh adanya kompleks imun. Kompleks imun berinteraksi dengan sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a (anafilatoksin). Fragmen komplemen ini menstimulasi pelepasan amin vasoaktif, seperti histamin dan 5-hidroksi triptamin, serta faktor-faktor kemotaktik dari sel mast dan basofil. Amin vasoaktif yang dilepaskan oleh trombosit, basofil, dan sel mast mengakibatkan retraksi sel endotel sehingga meningkatkan permeabilitas vaskular dan memungkinkan pengendapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah yang kemudian membentuk C3a dan C5a. Trombosit juga beragregasi pada kolagen membran basalis pembuluh darah yang terpajan serta berinteraksi dengan daerah Fc kompleks imun. Trombosit yang teragregasi terus menghasilkan amin vasoaktif dan merangsang produksi C3a dan C5a. (Jan Koolman, 2001)
Leukosit polimorfonuklear secara kemotaktik ditarik ke tempat terjadinya pengendapan oleh C5a. Sel-sel tersebut berupaya memfagosit endapan kompleks imun, tetapi tidak mampu karena kompleks melekat pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu, leukosit polimorfonuklear kemudian mengeksositosis enzim lisosomnya pada tempat endapan. Jika enzim lisosom ini dilepaskan ke dalam darah atau cairam jaringan, maka tidak akan timbul radang yang luas karena enzim ini dengan cepat akan dinetralisasi oleh suatu inhibitor enzim serum. Akan tetapi, jika fagosit, melalui ikatan Fc, berada sangat dekat dengan kompleks yang terperangkap jaringan, maka inhibitor serum tidak akan berfungsi sehingga enzim dapat merusak jaringan tempat endapan kompleks imun. (Joseph A. Bellanti, 1993)
Penyakit akibat pembentukan kompleks imun dapat dibagi secara kasar menjadi 3 kelompok, yaitu (1) yang disebabkan oleh infeksi yang menetap (lepra, malaria, DHF, hepatitis B, dan endokarditis enfektif stafilokokus), (2) disebabkan oleh penyakit autoimun (arthritis rheumatoid, SLE, dan polimiositis), dan (3) yang disebabkan oleh inhalasi bahan antigenik (penyakit farmer’s lung, pigeon fancier’s lung). (Sumardiono, 2005)

Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) melibatkan beberapa jenis patogenesis atau banyak sistem imun dan penyakit infeksius (tuberkulosis, blastomikosis, histoplasmosis, toksoplasmosis, leishmaniasis) serta granulomatosus yang disebabkan oleh infeksi antigen asing. Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe ini adalah karena kontak dermatitis (racun kontak, bahan kimia, logam toksik) di mana lesi berbentuk papula (tonjolan kulit).
Secara umum, mekanisme kerusakan dari hipersensitivitas tipe ini melibatkan sel T limfosit, makrofag, dan/atau monosit. Sel T cytotoxic (Tc) menyebabkan kerusakan secara langsung. Pasca masuknya antigen, sel Th mengekskresikan sitokin dan mengaktifkan sel Tc serta merekrut dan mengaktifkan monosit dan makrofag yang menyebabkan kerusakan. Ada 3 varian dari reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu (1) hipersensitivitas kontak di mana sel langerhans merupakan APC utama, (2) hipersensitivitas tipe tuberkulin (makrofag merupakan APC utama), dan (3) hipersensitivitas granulomatosa yang terjadi karena makrofag tidak mampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel yang ada di dalamnya. (Abbas, 2000)

Peran Genetik pada Reaksi Alergi
Beberapa penelitian pada tahun 1920-an menunjukkan bahwa orangtua yang menderita alergi cenderung mempunyai anak yang juga menderita alergi. Kemungkinan seorang anak menderita alergi lebih dari 50% bila kedua orangtuanya menderita alergi dan hampir 30% bila hanya salah satu orangtuanya menderita alergi. Namun, penelitian pada anak kembar menunjukkan bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit atopi (contoh : rinitis alergika, asma bronkiale). (Thamrin, 2007). Beberapa faktor lingkungan yang juga penting adalah tingkat pajanan terhadap alergen, status gizi individu, dan adanya infeksi kronis atau penyakit virus. Peran genetika terhadap reaksi alerdi adalah pada (1) kadar IgE total, (2) respon spesifik alergen, dan (3) sifat hiperresponsif umum yang ditunjukkan dengan tes kulit positif terhadap banyak alergen. (Wahab, 2002)

Tidak ada komentar: